Kematian Yesus Menghapus Dosa Manusia, Kematian Orang Asli Papua Menghapus Utang Negara Republik Indonesia

- Admin

Monday, 21 April 2025 - 12:02 WIT

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Angginak Sepi Wanimbo

Pendahuluan

Sekilas Realitas Refleksi

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kematian Yesus adalah hal yang pokok di dalam kekristenan. Paulus menulis dalam Roma 5 : 10, bahwa oleh kematian Yesus manusia diperdamaikan dengan Allah dan diselamatkan Yesus membuka jalan masuk kepada Allah.

Karena kasih karunia Allah yang menyelamatkan semua manusia sudah nyata. Ia mendidik kita supaya kita meninggalkan kefasikan dan keinginan duniawi dan supaya kita hidup bijaksana, adil dan beribadah di dalam dunia sekarang ini dengan menantikan pengenapan pengharapan kita yang penuh bahagia dan penyataan kemuliaan Allah yang maha besar dan juruselamat kita Yesus Kristus, yang telah menyerahkan diri-Nya bagi kita untuk membebaskan atau menghapuskan dosa manusia dari segala kejahatan dan untuk menguduskan bagi diri-Nya sendiri, yang rajin membuat baik.

Inilah jawaban Paulus. Mengapa Dia menyerahkan dirinya? Dia menyerahkan dirinya untuk menebus kita. Kata menebus adalah kata yang di pakai dalam arti setting free. Membebaskan orang budak, agar mereka. Dan kita tidak lagi memakai kata ini secara harfiah di zaman modern. Akan tetapi, pada zaman dulu, kata ini lazim digunakan. Setiap kali Anda membelinya dari orang lain. Kata ini secara harfiah berarti menebus seseorang. Yaitu membebaskan Dia dengan cara membayar uang pembebasannya. Dalam hal ini, harganya adalah darah Yesus Kritus. Demikian kata Rasul Petrus di 1 Petrus 1 : 18 – 19.

Sebab kamu tahu, bahwa kau telah ditebus dari cara hidupmu yang sia – sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas (orang pada zaman dulu buasanya membeli budak dengan emas dan perak), melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Yesus Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak berdoa dan tak tercacat.

Menebus kita dari apa? Menebus kita dari segala kejahatan. Kata kejahatan ini dalam bahasa aslinya berarti pelanggaran mengapa kata pelanggaran ini dipakai? Karena dosa, seperti yang di katakan oleh Rasul Yohanes di 1 Yohanes 3 : 4, pada dasarnya adalah pelanggaran; suatu penolakan terhadap hukum Allah, yang berarti suatu penolakan terhadap Kedaulatan Allah. Sekarang Anda bisa melihat mengapa hal ini terjadi tema utama dalam pemderitaan Yesus sendiri, kita hidup semua kita. Kita tidak mau peduli dengan isi hati orang lain, apa lagi isi hati Allah. Karena itu, kita tidak peduli apakah Dia ada atau tidak, apa lagi dengan kedaulatan-Nya. Ini adalah penolakan terhadap pemerintahan Allah di dalam hidup kita.

Bagimana Yesus ditangkap diolok – olokkan, sampai dibunuh dan dipaku di kayu salib penderitaan di bukit Golgota untuk demi selamatkan manusia yang terikat dengan penuh dosa. Melalui penderitaan atau kematian Yesus Kristus kami dapat diselamatkan kami dapat dimerdekakan, kami dapat dibebaskan dari dosa keluar menjadi keluarga Allah dan jadi anak – anak terang.

Arti Penderitaan

Penderitaan dipahami sebagai sebuah situasi yang kurang menguntungkan bagi hidup manusia, baik secara individu maupun kelompok. Penderitaan juga adalah tidak memperoleh apa yang menjadi haknya.

Selain itu, penderitaan juga menunjukkan adanya ketidak harmonisan akibat perang, kesukuhan, wabah, bencana yang secara alami maupun atas dasar kehendak. Secara etimologi kata derita atau penderitaan terdapat di berbagai bahasa di dunia dengan sebutan yang berbeda, tetapi memiliki satu makna.

Dalam bahasa Latin kata (dolor, doloris), yang sama – sama menunjukkan penderitaan yang bersifat, maupun duka, susah, kepedihan, kesedihan, penderitaan sensara, sesal, maupun lenderitaan atas ketidakadilan, ketidakbenaran, ketidakjujuran, karena dendam, kejengkelan, sakit hati, kegelisahan, dukacita, nestapa, bencana yang sifat (dolor iniuriae).

Sementara penderitaan juga menimpa manusia karena tipu daya, penipuan dan kepalsuan.

Penderitaan juga hadir secara tidak nyata dalam sifatnya bisa disembunyikan di balik kejujuran (sine dolo) sebagai alat penipu, jebakan, jerat, perangkap atau maksud jahat, rencana jahat, dengan tipu dan licik yang sama – sama menjadi sarana terciptanya penderitaan (Kamus Latin – Indonesia, Hal. 163).

Penderitaan menurut Sang Buddha dijelaskan secara singkat oleh Gillian Stokes dalam bukunya “Siapa Dia Buddha”, bahwa derita atau penderitaan adalah bagian dari kehidupan, oleh karena itu penderitaan akan selalu dialami oleh semua makhluk hidup.

Penderitaan juga selalu disebabkan oleh hawa nafsu manusia untuk mendapatkan kenikmatan duniawi. Maka Sang Muddha mengajurkan sebuah jalan hidup yang disebutnya moderat atau jalan tengah, yakni kewaspadaan dan tidak berlebihan dalam memenuhi kebutuhan hidup.

Menurutnya jika manusia terlalu berlebihan mengejar hawa nafsunya, maka akan mendatangkan penderitaan. Sebaliknya jika kebutuhan hidup terlalu berkekurangan juga akan mendatangkan. Sebaliknya jika kebutuhan hidup terlalu berkekurangan juga akan mendatangkan oenderitahan. Maka solusinya adalah jalan tengah.

Jalan tengahlah yang menjamin kehidupan tanpa penderitaan yakni memakai sesuai kebutuhan. Hidup berkecukupan, tak perlu mewah, apa adanya dengan apa yang kita miliki. Inilah yang diajarkan Sang Buddha sebagai sumber hidup.

Karenanya, kekayaan berupa, Sumber Daya Manusia (SDM) dan Sumber Daya Alam (SDA) di tanah air adalah sumber rahmat. Jangan juga kita merampas, mencuri, membunuh dan tanpa izin pemilik. Inilah yang diajarkan Sang Buddha sebagai sumber hidup.

Hal serupa dikatakan oleh Yohanes Pembaptis di Sungai Yordan “Cukupkanlah dirimu dengan gajimu. Janganlah memeras orang, jangan pula mengambilnya tanpa paksa”.

Berikan kepada saudara apa yang ia butuhkan sesuai haknya dan ambillah apa yang menjadi hak kita. Dengan ini tegas mengingatkan kita sebagai manusia “Cukupkanlah dirimu dengan gajimu”. Jika tidak maka hidup kita selalu dihantui ketakutan, batin kita gelisa dan rasa dendam terhadap sesama dan Tuhan selalu menjadi teman sebaya, yang menuntun kita pada tempat yang tidak kita inginkan sebagai manusia religius yakni jurang maut.

Baca Juga :  Membangun Kecintaan Membaca: Tips dan Strategi untuk Mendorong Anak-anak Mengembangkan Kebiasaan Membaca

Dengan demikian penderitaan secara tidak langsung sudah dialami oleh siapapun termasuk diri kita sendiri secara hal kebebasan. Juga penderitaan atas tindakan orang lain, baik pengalaman masa lalu, kini dan akan datang menjadi beban hidup secara moral dan fisik, maupun rohani.

Penderitaan Yesus Di Kayu Salib

Kemudian Yesus di bawa keluar untuk disalibkan. Pada waktu itu lewat seorang yang bernama Simon, orang kirene, ayah Alekzander dan Rufius, yang baru datang dari luar kota, dan orang itu mereka paksa untuk memikul salib Yesus.

Mereka membawa Yesus ke tempat yang bernama Golgota, yang berarti: Tempat Tengkorak. Lalu mereka memberi anggur bercampur mur kepada-Nya tetapi Ia menolak. Kemudian mereka menyalibkan Dia, lalu mereka membagi pakaian-Nya dengan membuan undi atasnya untuk menentukan bagian masing – masing.

Hari jam sembilan ketika Ia disalibkan. Dan alasan mengapa Ia dihukum disebut pada tulisan yang terpasan disitu: “Raja Orang Yahudi”.

Bersama dengan Dia disalibkan dua orang penyamun, orang disebelah kanan-Nya dan orang disebelah kiri-Nya. Demikian genaplah nas Alkitab yang berbunyi: “Ia akan terhitung di antara orang – orang durhaka”.

Orang – orang yang lewat disana menghuyat Dfia, dan sambil menggelengkan kepala mereka berkata: “Hai Engkau yang merubuhkan Bait Suci dan mau membangungnya kembali dalam tiga hari,. Turunlah dari salib itu dan selamatkan diri-Mu” demikian juga imam – imam kepala bersama – sama ahli Taurat mengolok – olokkan Dia di antara mereka sendiri dan mereka berkata: “Orang lain Ia selamatkan tetapi diri-Nya sendiri tidak dapat Ia selamakan!. Baiklah Mesias, Raja Israel itu, turun dari salib itu, supaya kita lihat dan percaya. “Bahkan kedua orang yang disalibkan bersama – sama dengan Dia mencela Dia juga. (Markus 15 : 20b – 32).

Penderitaan Yesus di kayu salib adalah penderitaan Orang Asli Papua. Yesus adalah orang asli bangsa Yahudi. Yesus hadir di dunia dengan misi yang jelas yakni, “Keselamatan manusia dari dosa menuju kepada kehidupan yang baik”.

Kita tahu bahwa Yesus bukan Orang Asli Papua. Ia juga bukan orang Yunani, Roma, Amerika, Jepang, Indonesia, Belanda, Australia, Cina, atau India tetapi mengapa Yesus mempengaruhi dunia? Kehadiran-Nya secara manusiawi memberi warna bagi hidup manusia.

Yesus selama hidup dan berkarja mewartakan kebenaran tentang kerajaan Allah yang dianggap sebagai suatu kebodohan bagi pemimpin pada zaman-Nya itu.

Kita tidak heran kalau Ia ditolak, dibenci, dimusuhi, diketahui, diolok – olokkan, dihukum mati dan dibunuh oleh suku bangsa-Nya sendiri sebagai jaminan bangsa-Nya.

Bertolak dari penderitaan Yesus dengan melihat, mengalami, mendengar penderitaan, Orang Asli Papua, (OAP). Sebagai bagian dari umat beriman Kristen yang mempercayai, mengakui dan mengimani Yesus Kristus sebagai satu – satunya Tuhan dan Juruselamat bagi umat manusia di seluruh dunia juga di tanah Papua.

Dari sisi lain saya melihat lonjakan pinjaman uang negara yang semakin menjulang tinggi sebut saja “utang negara”.

Kedua hal ini sama – sama memberikan jaminan hidup sekaligus menyengsarakan hidup itu sendiri. Hal ini terlihat dari maraknya fenomena konflik yang sifatnya nyawa manusia Papua menjadi tumbuhnya, baik orang Papua maupun Yesus secara jasmani dan rohani.

Dengan ini wajarlah Orang Asli Papua sebagai pengikut Yesus mengkontekskan pengalaman penderitaan-Nya sebagai bagian dari penderitaan hidup Orang Asli Papua, (OAP). Saat ini.

Keyakinan dan kepercayaan atas dasar iman akan penderitaan Yesus sebagai jaminan keselamatan kelak (Eskatologis), karena mereka merindukan keselamatan di atas negerinya sendiri.

Artinya secara politik, Hak Asasi Manusia (HAM) dan hukum mesti ditegakkan bagi, Orang Asli Papua (OAP) maupun semua suku bangsa yang dipanggil dan diutus dalam nama-Nya melalui baptisan.

Dengan kata lain, keselamatan yang dimaksudkan adalah keselamatan kekal sesudah mati (eskaton) dari sisi imannya. Hal inj berbeda dengan keselamatan yang dicita – citakan, diinginkan dan diperjuangkan oleh Orang Asli Papua, (OAP). Dalam situasi penderitaan mereka, yakni keselamatan saat ini dan disini. Mereka menambahkan sekarang bukan esok atau lusa dengan memperoleh hak kemerdekaan politik.

Dengan demikian, Orang Asli Papua, (OAP). Memperoleh jaminan kebebasan dari segi Hukum dan HAM maupun membentuk satu negara sendiri dari bangsa Indonesia yang dianggap sebagai penjajah atau kolonial.

Inilah yang menjadi harapan iman umat kristen yang hendak disamakan dengan penderitaan Yesus. Walaupun demikian, adanya distingsi dari pihak lain secara geneologi dan geografi maupun situasi serta tujuan sangat berbeda jauh antara penderitaan Orang Asli Papua, (OAP). Dan penderitaan Yesus pada zamannya dan zaman ini.

Maka dalam tulisan ini penulis sedikit merefeleksikan penderitaan Yesus di kayu salib bukit Golgota dan penderitaan Orang Asli Papua, (OAP).

Disini lain penderitaan Yesus di kayu salib sebagai mediator antara Allah dan manusia sementara penderitaan, Orang Asli Papua, (OAP). Sebagai mediator antara negara dan band dunia dengan pengorbanan Orang Asli Papua menjadi bayarannya.

Pertanyaan ialah apakah kedua lenguasa tersebut, baik maksud dan tujuan dari Allah, maupun maksud dan tujuan negara akan menjadi jaminan kesehatan.

Sejarah bangsa Yahudi telah dibukukan dan diperluaskan di seluruh dunia. Dunia menanggapinya secara berbeda, baik secara histori – tradisi sebagai bangsa beradaban dunia, maupun secara imanen sebagai bangsa pilihan Allah.

Maka tulisan ini cukup memperkenalkan sedikit arti dan maksud penderitaan Yesus secara manusia kemahakuasaan-Nya sebagai Tuhan.

Tuhan membawa misi keselamatan menjadi tujuan atau sasaran utama kepada umat-Nya. Penderitaan Yesus menunjukkan sebuah keaslian bangsa Israel pada saat itu.

Baca Juga :  1 Mei 1963: Hari Penjajahan, Bukan Integrasi

Penderitaan Yesus ditunjukkan secara adat dan tradisi bangsa Yahudi dan Romawi karena Yesus hadir pada masa penjajahan.

Secara budaya, Ia disidangkan lebih dahulu oleh Mahkamah Agama dengan kelompok – kelompoknya hingga terakhir dihadapkan kepada Pilatus sebagai pemimpin kaki tangan penguasa Romawi. Disini kita pahami sebagai bagian dari kepentingan politik dari sisi kemanusiaan Yesus sejak tampil di Galelia dan mulai mewartakan kabar gembira Tuhan hingga mencapai puncaknya pada kematian di kayu salib adalah tugas mulia Yesus sebagai Anak Allah yang hidup.

Disini Yesus sebagai mediator (Markus 1 : 1 – 5). Yesus mengadapi seluruh suka – duka hidup sebagai 100% Allah maka tepatlah jika Yesus Kristus menanggung semau konsekuensi baik dari sisi Allah dan manusia. Puncaknya ditunjukkan pada kematian di kayu salib sebagai korban menghapus dosa manusia dan saat itulah perkataan terakhir di kayu salib yakni “Selesai”.

Kematian Yesus Di Kayu Salib

Pada jam dua belas, kegelapan meliputi seluruh daerah itu dan berlangsung sampai jam tiga. Dan pada jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: “Eloi – Eloi, laba sabakhtani?”, yang berarti: Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? Mendengar itu, beberapa orang yang berdiri disitu berkata: “Lihat, Ia memanggil Elia”. Maka datanglah seseorang dengan bungga karang, mencelupkannya kedalam anggur asam lalu mencucukkannya pada sebatang buluh dan memberi Yesus minum serta berkata: “Lalu berserulah Yesus dengan suara nyaring dan menyerahkan nyawa-Nya.

Ketika itu tabir Bait Suci terbela dua dari atas sampai ke bawah. Waktu kepala pasukan yang berdiri berhadapan dengan Dia melihat mati-Nya demikian, berkatalah Ia: “Sungguh, orang inj adalah Anak Allah”.

Ada juga beberapa perempuan yang melihat dari jauh, diantaranya Maria Mandalena, Maria ibu Yakobus Muda dan Yoses, serta Salome. Mereka semuanya telah mengikuti Yesus dan melayani-Nya waktu Ia di Galelia. Dan ada juga di situ banyak perempuan lain yang telah datang ke Yerusalem bersama – sama dengan Yesus. (Markus 15 : 33 – 41).

Penderitaan Orang Asli Papua

Realitas memperlihatkan kepada kita bahwa penderitaan Yesus adalah Orang Asli Papua sebagai bagian dari Murid – Murid-Nya. Perbedaan antara Yesus dan Orang Asli Papua budaya dan situasi dalam hal ini tujuanlah yang menjadi jawaban persamaannya.

Tujuan penderitaan Yesus hingga wafat di kayu sakib adalah misi Agung Allah, sedangkan tujuan penderitaan dan kematian Orang Asli Papua. Bukan untuk menghapus dosa leluhur nenek moyang bangsa Melanesia, melainkan menghapuskan dosa nenek moyang bangsa Indonesia karena sejak Republik Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus Tahun 1945 hingga saat ini belum mampu melunasi utang negara di band dunia.

Band dunia menjadi jaminan hidup bagi bangsa Indonesia. Ia seakan tuan yang menyediakan bahkan menjawab segala kebutuhab hidup bangsa Indonesia dengan senang hati.

Jaminan inilah yang akan terus diupayakan oleh bangsa Indonesia dengan berbagai cara yang sifanya baik maupun buruk, yang nanti mengorbangkan sesama manusia sebagai tumbalnya dan Sumber Daya Alam Papua. Sebagai jaminannya, maka berbagai perusaan multinasional hingga internasional menjadi saham atau lapangan pendapatan bagi mereka.

Dengan demikian, apa pun yang ada dan hidup di atas bumi Cenderawasih Papua. Ini dari Sabang – Merauke akan selalu korban penderitaan. Terutama bagi kami Penduduk Orang Asli Papua, sebagai pemilik tanah menjadi korban penderitaan.

Alam menderita karena tanpa peduli hutan dibabat habis, ikan dijaring, emas dikeruk, kayu ditebang, minyak bumi disihisap, gunung digusur dan manusia dikejar, dibunuh, disiksa, dipenjara, ditangkap dengan beragam alasan hukum dan tuduhan palsu.

Demokrasi dibatasi, pendidikan dibiarkan terlantar, daya juang kehidupan ekonomi rakyat dimatikan dengan kecuran dana yang menggulirkan, minuman keras “Miras” diberi label khusus, daya saing usaha dikuasasi, tingginya peredaran penyakit mematikan di seluruh Tanah Air Papua. Hingga ketidakberpihakan hukum bagi Orang Asli Papua, dengan tunduhan makar, pemberontak, kelompok kriminalitas, dan rasialisasi selalu menjadi konsumsi publik rakyat Papua adalah derita.

Dengan sedikit gambaran situasi hidup Orang Asli Papua, (OAP). Di tanah leluhurnya menjadi sebuah pergumulan, perjuangan dan harapan dan cita – cita mulia masa kini dan masa depan di dunia ini.

Kematian Orang Asli Papua

Sejak Indonesia menduduki wilayah Orang Asli Papua. Melakukan kebohongan, kejahatan dan penipuan sejak tahun 1961 – 1963 proses Pepera 1963 – 2025 rakyat Papua selalu korban jiwa sebagai bukti kematian Orang Asli Papua, sebagai berikut:

1. Pada 2 Maret 2013 seorang Pdt. Yunus Gobay (Laki – Laki/55) disiksa dan dianiaya dan dibebaskan setelah keluarga korban menyerahkan uang tebusan kepada pihak kepolisian di Polsek Kota Enarotali, Paniai

2. Kasus penembakan di Sinak, Kabupaten Puncak, di Tingginambut, Kabupaten PuncakJaya pada 21 Februari 2013 dan kasus penembakan di Udaugi, perbatasan Kabupaten Deiyai tanggal 31 Januari 2013 yang menewaskan sejumlah warga sipil dan aparat yang menurut kami terjadi oleh karena pembiaran terhadap penjualan senjata secara ilegal.

3. Pada tanggal 15 Februari, Dago Ronald Gobay (Laki -laki/30) ditangkap di Depalri, Kabupaten Jayapura oleh polisi dan dalam proses interogasi disiksa di ruangan kerja intelkam Polres Jayapura.

4. Lembunuhan Mako Musa Tabuni Ketua 1 KNPB tanpa berdasarkan dan diluar prosedur hukum pada tanggal 14 Juli 2012 di Permunas III Waena.

5. Pembunuhan Jendral TPN/OPM Kelly Kwalik oleh polisi Densus 88 dan TNI pada tanggal 16 Desember 2009 di kota Timika dan pada tanggal dan bulan yang sama tahun 2012 terjadi pembunuhan Hubertus Mabel oleh Polisi Densus 88 di Kurulu Kota Wamena.

Baca Juga :  Vatikan Rilis Penyebab Kematian Paus Fransiskus

6. Penyiksaan dan pembunuhan Yawan Weyeni pada tanggal 13 Agustus 2009 oleh Kapolres Serui AKBP Iman Setiawan

7. Dua kasus pelanggaran HAM berat Wasior pada tahun 2001 dan Wamena 4 April 2003 kasus pembobolan gudang senjata yang sudah diselidiki oleh KOMNAS HAM tapi kejaksaan Agung belum menyerahkan ke pengadilan HAM untuk diputuskan

8. Penembakan siswa di Dogiyai secara berturut – turut sejak Maret 2025

9. Penembakan 2 orang pemuda Mappi di Merauke, Oktober 2015

Ini hanya beberapa kasus dan penderitaan yang mengambarkan kejahatan negara dan aparat keamanan Indonesia secara terstruktur, sistematis, meluas, dan terus menerus sebagai pencerminan dari kebijakan degenerative politic (melumpuhkan, menghancurkan, memusnahkan, memporak-porakan, memperburuk). Yang menurut Nugroho (The Jakarta Post 10 Juli 2012). Sudah dilaksanakan oleh Negara Republik Indonesia di Tanah Papua selama 50 tahun sejak 1961.

Menyadari fakta dan pengalaman kehidupan yang sangat buruk bagi Orang Asli Papua. Yang memprihatikan seperti ini tidak bisa lagi kita tinggal diam, sante tetapi penulis salah satu tokoh anak muda Papua minta kepada Pemerintah Republik Inonesia silahkan membuka ruang untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi selama ini di tanah Papua.

Hal lain adalah Penduduk Orang Asli Papua. Jangan berpikir perubahan akan datang dari luar itu bohon oleh karena itu kita wajib hukum bersatu lalu menyatakan, menyampaikan dan berjuan tentang keadilan, kebenaran, kesamaan serta kejujuran di tanah ini. Supaya generasi sekarang dan akan datang mereka merasakan kedamaian yang bersumber dari Tuhan itu sendir oleh karena itu saatnya orang Papua jangan pernah membeda – bedakan Kau dari Timur, Barat, Utara dan Selatan tetapi kita berambut keriting berkulit hitam ada disatu honai besar bernama pulau Papua, ini satu.

Solusi adalah Duduk satu meja antara Papua dengan Indonesia seperti Indonesia punya pengalaman penyelesaian kasus di lakukan dengan GAM di Aceh. Yang dimediasi oleh pihak ketiga.

Penutup

Semua pengorbanan dan penderitaan di atas selalu berujun pada akibat. Akibat dari utang negara akan memiliki resiko yang sangat besar pengaruhnya tanpa ada manfaat sedikit pun bagi Orang Asli Papua, (OAP). Oleh karena itulah Orang Asli Papua, sering mengatakan bangsa Indonesia adalah pembunuh dan penjajah dengan mengalami realitas hidup orang Papua.

Bahkan penulis sendiri pun mengalami rasa yang sama. Hal ini bisa kita lihat, dengar dan temukan di lingkungan sekitar kita dimanapun dan kapanpun di daerah seluruh pelosok tanah air Papua.

Ada orang yang menangis karena perumahannya digusur demi pembangunan, ada pembakaran hutan besar – besaran demi pembangunan, ada pembunuhan dimana – mana karena dianggap Organisasi Papua Merdeka (OPM), dikejar – kejar dan diteror seperti hewan dan binatang juga dianggap Kelompok Kriminal Sipil Bersenyata (KKSB), Komite Nasional Papua Barat (KNPB), atau United Liberation Movement For West Papua (ULMWP) sebagai kelompok pemberontak yang harus dibasmi demi keamanan negara.

Padahal mereka inj tidak melakukan tindakan kekerasan, tetapi mereka berjuan dan tegakan nilai – nilai kebenaran, kejujuran, keadilan serta tegakan nilai kebaikan yang diinginkan oleh seluruh rakyat Papua. Sebab nilai kebebasan yang diajarkan Yesus di kayu salib harus diterapkan, diteruskan dan ditegakan ditengah – tengah umat yang membutuhkan pertolongan.

Bahkan lebih para itu kepentingan bangsa Indonesia hampir semua lini perusahan – perusahan multi Nasional hingga Internasional mengeksplorasi, Sumber Daya Alam Papua, (SDAP). Demi pajak dan lunas utang negara.

Indonesia menggunakan beragama cara dan strategi diupayakan untuk membunuh dan meniadakan Orang Asli Papua, terhitung sejak 1961 pada Desember hari lahirnya bangsa Papua Barat.

Semua bentuk kekerasan secara jasmani maupun keluh – kesah, sedih, duka cita, tangisan air mata, dan marah menunjukan penderitaan yang sedang dan akan dialami Orang Asli Papua, hingga pemusnahan menjadi puncak dan akhir dari segala kemungkinan.

Dengan demikian, menjadi jelas bahwa penderitaan Yesus di kayu salib menjadi jawaban hidup umat beriman kelak di akhirat

Namun menjadi pertanyaan refeleksi bagi kita saat ini dan menjadi tugas bersama mencari solusi yang tepat adalah apakah ada harapan akan ada jaminan keselamatan bagi Orang Asli Papua, dengan adanya utang sebagai dosa nenek moyang bangsa Indonesia saat ini.

Kematian Yesus membebaskan dan memerdekakan umat Tuhan melalui kematian Yesus di kayu salib, penderitaan Orang Asli Papua, terus menerus terjadi Solusi yang tepat menciptakan Papua tanah Damai adalah Pemerintah Pusat segerah membuka ruang untuk duduk satu meja antara Papua dengan Indonesia seperti Indonesia punya pengalaman penyelesaian kasus di lakukan dengan GAM di Aceh. Yang dimediasi pihak ketiga pada akhirnya konflik telah berakhir hari ini orang penduduk Aceh hidup damai dan aman di negerinya mereka sendiri demikian Papua.

Catatan refleksi kematian Yesus di kayu salib menghapuskan dosa manusia dan kematian Orang Asli Papua, menghapuskan utang negara Republik Indonesia ini menjadi berkat, dan membuka mata hati, telingga rohani tetapi juga menyadarkan kepada Orang Asli Papua untuk tegakan kebenaran di atas bumi Cenderawasih Papua.

Selamat merayakan Hari Paskah Tuhan Yesus Kristus pemilik hidup kami memberkati kita semua.

Referensi: 

1. Pdt. Benny Giay, 2012 – 2028. Surat – Surat Gembala, Forum Kerja Oikumene Gereja – Gereja Papua.

2. Angginak Sepi Wanimbk, 2024. Masa Depan Penuh Harapan

3. Www…Jubi.Com.Id 

Kinaonak..Waa..Waa..Waa

TiEyom Tiom, 18 April 2025

Penulis:

Anggota Departemem Litban PGBWP

Salah Satu Pendiri dan Anggota Forum Pemuda Kristen Di Tanah Papua

Facebook Comments Box

Berita Terkait

1 Mei 1963: Hari Penjajahan, Bukan Integrasi
Wakil Ketua II DPRD Deiyai Dames Pekei, Sumbang 10 Sak Semen Ke Gereja Ini?
Membangun Kecintaan Membaca: Tips dan Strategi untuk Mendorong Anak-anak Mengembangkan Kebiasaan Membaca
Panitia Yubelium Stasi Sta. Maria Kigou Gelar Rapat Guna Bahas Persiapan
Aku Masih Ada Untukmu
Karena Cinta Tak Bisa Dipaksakan
Hati yang disingkirkan
Vatikan Rilis Penyebab Kematian Paus Fransiskus
Berita ini 105 kali dibaca

Berita Terkait

Thursday, 1 May 2025 - 11:01 WIT

1 Mei 1963: Hari Penjajahan, Bukan Integrasi

Wednesday, 30 April 2025 - 03:23 WIT

Wakil Ketua II DPRD Deiyai Dames Pekei, Sumbang 10 Sak Semen Ke Gereja Ini?

Sunday, 27 April 2025 - 10:12 WIT

Membangun Kecintaan Membaca: Tips dan Strategi untuk Mendorong Anak-anak Mengembangkan Kebiasaan Membaca

Sunday, 27 April 2025 - 05:16 WIT

Panitia Yubelium Stasi Sta. Maria Kigou Gelar Rapat Guna Bahas Persiapan

Saturday, 26 April 2025 - 03:29 WIT

Aku Masih Ada Untukmu

Berita Terbaru

Artikel

1 Mei 1963: Hari Penjajahan, Bukan Integrasi

Thursday, 1 May 2025 - 11:01 WIT