Deiyai KabarDeiyaiDuamo.com – Belakangan ini, serial Netflix berjudul “Adolescence” ramai dibicarakan di kalangan orangtua. Karakter remaja laki-laki berusia 13 tahun bernama Jamie membunuh teman sekolahnya, Katie, karena terpapar konten radikalisme gender seperti maskulinitas toksik dan misogini di media sosial.
Psikolog klinis anak dan remaja Lydia Agnes Gultom, M.Psi. menjelaskan, anak remaja lebih mudah terpengaruh dengan konten apapun, termasuk konten radikalisme gender, di media sosial karena tiga faktor.
“Kalau dalam psikologi dilihat dari tiga hal, yakni perkembangan koginitifnya, perkembangan sosial emosinya, dan perkembangan otaknya,” kata Agnes yang berpraktik di Klinik Utama Dr. Indrajana Jakarta Pusat kepada KabarDeiyaiDuamo.com, Minggu (27/4/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebagai informasi, Agnes juga bekerja sebagai Penyuluh Sosial Ahli Muda di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Penyebab Remaja Mudah Terpengaruh Konten Media Sosial
Agnes menerangkan, ketiga faktor di atas berpengaruh dalam setiap fase kehidupan anak karena memiliki tugas masing-masing terkait kehidupan mereka sehari-hari. Hal inilah yang kemudian membuat remaja mudah terpengaruh konten media sosial.
1. Perkembangan kognitif
Faktor pertama yang membuat remaja lebih rentan pada konten berbahaya di media sosial adalah perkembangan kognitif atau cara mereka berpikir. Ketika anak memasuki fase remaja, mereka sudah mulai berpikir secara abstrak tentang seesuatu, baik itu yang dia lihat, tentang sesuatu yang nyata, atau sesuatu yang tidak secara langsung berkaitan dengan mereka.
“Dan mereka juga sudah mulai mempertanyakan banyak hal, ingin tahu tentang banyak hal. Jadi, itu yang membuat mereka mencari hal-hal itu di media sosial,” tutur Agnes.
2. Perkembangan sosial emosional
Selanjutnya adalah perkembangan sosial emosional, yakni ketika remaja sedang dalam tahap mencari identitas dan kedekatan dengan lawan jenis atau orang lain.
Remaja mulai mengembangkan identitas pribadinya. Jadi, mereka menggunakan media sosial untuk mengeksplorasi siapa dirinya. Bisa pula meniru figur yang mungkin mereka anggap populer atau keren. “Dan sudah mulai membandingkan diri dengan orang lain. Di fase ini, dalam perkembangan sosial emosional ini, penting penilaian dari teman sebayanya,” kata Agnes.
3. Perkembangan otak
Perkembangan otak berkaitan dengan prefrontal cortex atau korteks prefrontal, yakni bagian otak yang terletak di bagian depan kepala. “Ini fungsinya memang memandu manusia dalam mengambil keputusan, merencanakan hal-hal di masa depan, dan mengontrol diri, dan melihat konsekuensi dan risiko,” jelas Agnes.
Bagian otak ini baru sepenuhnya berkembang ketika manusia mencapai pertengahan usia 20 tahun. Artinya, korteks prefrontal pada remaja belum begitu berkembang.
Sehingga, mereka cenderung belum bisa melihat konsekuensi dari apa yang dilakukan berdasarkan apa yang dilihatnya di media sosial. Pada remaja yang tidak dilatih dalam berpikir kritis, mereka bisa dengan mudah menerima informasi apapun dari media sosial tanpa dicerna melalui penalaran.
“Ditambah lagi, secara biologisnya secara hormonal dan fungsi emosinya lagi aktif di pubertas. Jadi, mereka lebih cenderung untuk bertindak karena emosi dibandingkan pakai nalar,” tutur Agnes.
Apakah Media Sosial Bisa Dihindari?
Agnes mengatakan, media sosial sudah seperti play ground di kalangan remaja. Sebab, sedari lahir pun mereka sudah menjadi seorang digital native.
Dengan kata lain, media sosial tidak bisa dilepas dari kehidupan remaja. Ada banyak hal yang berkaitan dengan penggunaan media sosial, seperti kegiatan bersekolah.
“Sekarang kan tidak bisa dipungkiri ada banyak bentuk e-learning dan tugas yang membutuhkan mereka untuk online,” tutur Agnes. Misalnya saja tugas yang membutuhkan survei pengguna media sosial, atau menggunakan media sosial untuk berinteraksi dengan gurunya seputar tugas sekolah.
“Dan juga, ada dari segi interaksi seperti mencari teman dan ngobrol sama teman, atau cari hiburan, atau interaksi dengan keluarga yang mungkin masih dekat atau jauh. Jadi, media sosial itu sesuatu yang enggak bisa dilepaskan,” ucap dia. Namun, orangtua bisa membentengi anak dengan menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi mereka untuk bertanya soal apapun yang mereka temui di media sosial.
(Redaksi)